Banyak
permukiman di pesisir pantai Indonesia menghadapi permasalahan lingkungan
sulit, seperti: Banjir rob, intrusi, penurunan level tanah, serta kontaminasi
E. Coli pada air sumur. Salah satu contohnya terjadi di Kecamatan Pademangan,
Jakarta Utara. Tingginya eksploitasi air tanah (penyedotan dan pertumbuhan sumur
bor) di sana tidak dibarengi kemampuan pembaharuan alami air yang hanya 1 x
10-2 cm/detik. Akibatnya, akuifer yang tadinya bertekanan karena terisi air
kini lowong dan kemasukan air asin.
Eksploitasi
air-tanah-dalam memicu penurunan muka tanah bahkan hingga titik di bawah
permukaan laut. Daerah yang mengalami ini akan sering terkena banjir rob.
Genangan yang terus-menerus selama bertahun-tahun terbukti menimbulkan kerugian
besar bagi masyarakat. Banyak di antara rumah penduduk lantainya harus
ditinggikan 10-50 cm tiap lima tahun sekali. Beberapa rumah yang tergenang juga
ditinggalkan oleh penghuninya. Tembok jadi retak, tanah urukan terendam, dan
kusen banyak yang busuk. Kerugian akibat banjir rob dan penurunan tanah juga
harus ditanggung Pengelola Kota. Karena mereka tiap lima tahun mesti
meninggikan jalan-jalan arteri primer supaya aktivitas ekonomi tidak terhenti.
Banjir rob menyebabkan pipa serta peralatan distribusi air bersih mudah rusak
karena berkarat. Air yang meresap ke tanah di pemukiman menambah volume
septictank penduduk sehingga pengurasan harus dilakukan rutin tiap dua tahun.
Peristiwa
ini bisa jadi pelajaran berharga bagi perencanaan pesisir di daerah lain.
Memang ada solusi bagi beberapa problem di atas tapi itu terlalu mahal. Seperti
banjir rob, di mana Pemerintah harus membangun dam seperti di Belanda untuk
menjaga lahan dengan ketinggian di bawah permukaan laut tetap kering.
Satu-satunya langkah murah adalah pencegahan. Tindakan ini haruslah
terintegrasi dari mulai perencanaan, kontrol, hingga rekayasa sosial.
Antisipasi
nantinya dituangkan ke dalam sistem prasarana air yang meliputi: Instalasi air
bersih, bangunan pengolahan limbah cair domestik, perpipaan, sumur resapan, MCK
umum, septictank komunal, drainase, dan rain water harvesting. Pembangunan
infrastruktur tadi harus dibarengi niat pelestarian lingkungan serta
perlindungan kesehatan masyarakat lewat dua langkah konkret yaitu zero waste
dan 3R (reduce, reuse, dan recycle).
(1)
Infrastruktur pertama yang mesti tersedia adalah instalasi air bersih. Sarana
ini dibutuhkan guna meningkatkan kesehatan penduduk serta meminimasi upaya
eksploitasi air tanah. Biaya penyambungan harus dibuat terjangkau dengan
kualitas pelayanan yang prima. Masalah pelik yang dihadapi Perusahaan Air Minum
(PAM) sekarang—seperti tingkat kehilangan air yang tinggi, penyaluran yang
diskontinu, kontaminasi selama distribusi, dsbg—wajib diatasi simultan dengan
penyediaan air bagi rumah tangga pesisir! Sebab hal ini niscaya akan menambah
kepercayaan konsumen pada PAM.
(2)
Infrastruktur kedua yang juga penting bagi pengejawantahan zero waste dan 3R
adalah septictank komunal. Permukiman rapat merupakan tempat yang rawan
kontaminasi E. Coli pada air sumur. Ini disebabkan dekatnya septictank dengan
sumber air. Kontaminasi tersebut dapat dicegah dengan menyatukan septictank di
suatu tempat. Instalasi ini bukan cuma sebagai tempat penampungan namun pula
dapat berfungsi sebagai reaktor biogas. Produk septictank yang berupa metan
bisa mensubtitusi penggunaan LPG yang pada akhirnya menghemat pengeluaran rumah
tangga. Septictank komunal sebaiknya ditempatkan dalam satu areal pertamanan
sehingga air hasil olahanya bisa dimanfaatkan untuk penyiraman.
(3)
Infrastruktur ketiga yang merupakan kunci permukiman pesisir ramah lingkungan
adalah bangunan pengolahan limbah cair domestik. Pembuangan sembarang limbah ke
badan air rawan merusak ekosistem laut dan muara. Padahal dua daerah ini
merupakan rumah bagi ikan yang jadi mata pencarian nelayan. Limbah cair
domestik berasal dari wastafel, kamar mandi, dan tempat cuci. Limbah cair
domestik kaya bahan organik, jika jumlahnya melampaui ambang batas rentan
menurunkan kadar Dissolved Oxygen (DO) perairan. Ini bisa makin parah bila
industri pengasinan ikan ikut menggelontorkan limbah. Maka itu, guna mengantisipasinya
suatu kawasan membutuhkan instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
IPAL |
Fasilitas
di atas mesti dibuat sepaket dengan sistem sewer terpisah yang tertutup. Sewer
terbagi atas saluran air kotor (riol) dan drainase (stormwater system). Tiap
rumah harus sudah memisahkan antara saluran limbah cair dan air hujan sebelum
terhubung ke sewer. Air hujan dari talang masuk drainase sedangkan limbah cair
ke riol. Air drainase disalurkan ke embung dan sumur resapan; limbah dari riol
ke IPAL. Air hasil olahan IPAL yang telah aman selanjutnya dapat dilepas ke
badan air. Sebagai tambahan, embung sebaiknya dibangun sekomplek dengan taman
luas. Mereka dapat menjadi ruang terbuka hijau (RTH) ideal.
Sistem sewer terpisah dan tertutup |
(4)
Infrastruktur keempat yang cukup disarankan adalah rain water harvesting. Cara
kerjanya adalah dengan menyimpan air hujan ke dalam suatu tangki. Air dapat
digunakan untuk menyiram tanaman atau diresapkan kembali ke tanah.
Masing-masing rumah sebaiknya punya rain water harvesting. Namun bila belum
memiliki, air hujan dapat dialirkan langsung ke drainase. Rain water harvesting
bisa mencegah overkapasitas badan air yang ‘tak lain pemicu banjir.
Skema rain water harvesting |
Skema sumur resapan |
(6)
Infrastruktur terakhir yaitu MCK umum cukup dibutuhkan permukiman padat dan
miskin. Di sini warga bisa cuci baju dan mengambil air bersih dengan murah.
Fasilitas ini saya jumpai di perkampungan Jembatan Beton, Kelurahan Gedung
Pakuon, Bandar Lampung ‘tak jauh dari Kota Karang. Sarana ini berfungsi untuk
meningkatkan sanitasi penduduk setempat. Pengelolaan dapat diserahkan pada
masyarakat.
MCK umum di perkampungan Jembatan Beton |
Mewujudkan
fasilitas-fasilitas di atas memang bukan perkara mudah. Ini karena banyak
hunian pesisir yang sudah permanen. Butuh usaha dan dana besar untuk menata
ulang mereka. Tapi setidaknya kita telah menyediakan solusi bagi sumber daya
air permukiman pesisir yang berkelanjutan.
*Artikel ini merupakan pengembangan
dari Model MCK Plus (MCK Umum dan Pengolahan Air Minum Isi Ulang) dan
Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga dengan Sistem SANITA.
Referensi Web:
Daftar Pustaka:
Putra, D. R. & Marfai, M. A.
(2012). Identifikasi Dampak Banjir Genangan (Rob) Terhadap Lingkungan
Permukiman di Kecamatan Pademangan Jakarta Utara. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar