Bocoran Soal Kalkulus
Kalau tidak salah, 90% kemajuan
murid itu dipengaruhi oleh guru. Nah, kebetulan saya sekarang mendapatkan dosen
kalkulus yang bagus. Dia menjelaskan matematika seperti sepotong kue. Tadinya
saya hanya belajar setiap malam sebelum kuliah kalkulus. Seiring dengan
eskalasi tingkat kesulitan, saya pun juga mengintensifkan latihan. Ujian
pertama di Kalkulus I membuat saya terkejut bukan main. Pasalnya, selama 12
tahun sekolah, saya hanya bisa mencapai paling tinggi nilai 5, jika mengerjakan
sendiri.
Namun, kali ini saya bisa mendapat
nilai nyaris sempurna. Kalkulus I selesai dan sekarang kita beralih ke Kalkulus
II. Tren positif terus terjaga hingga suatu hari saya menyadari, bahwa saya
tidak bisa menikmati hasil ini sendiri. Saya melihat banyak teman saya sangat
kesulitan dan terengah-engah mengerjakan ini.Inisiatif saya tergerak untuk
membantu mereka. Waktu kalkulus I memang ada teman saya yang suka main ke rumah
untuk minta diajarkan. Tapi, ketika kalkulus II mereka tidak lagi ke sini.
Karena tahu bahwa saya tidak punya
waktu untuk memberi mereka tambahan. Saya pun berpikir soal cara singkat.
Kebetulan waktu itu karena murid yang banyak. Kelas akhirnya dibagi jadi dua:
Pagi dan siang pada hari yang sama. Celah itu muncul ketika tahu bahwa ternyata
soal ujian untuk kelas pagi dan sore sama. Percobaan pertama: Saya memanggil
teman saya Dika untuk memberinya bocoran. Ternyata berhasil dan ia tidak
ketahuan. Percobaan kedua: Saya lalu memanggil beberapa teman dekat saya dari
kelas siang lainya. Mereka pun mencatat soal yang saya tulis di kertas coretan.
Ujian memang dilakukan beberapa
kali. Lalu, setelahnyalah dipilih dua tertinggi diantaranya guna dijadikan
nilai UAS dan UTS. Kembali ke cerita teman-teman saya! Satu minggu berselang
dan akhirnya saya mendengar dari teman saya bahwa mereka ketahuan. Satu kelas
diamuk dosen dan katanya mengerikan. Seseorang diantara mereka menyebut nama
saya. Wow! Sedikit terkejut dan terbayang bahwa dosen akan menghempaskan kepala
saya ke tembok. Teman saya bilang bahwa nilai saya dikurangi.
Hal yang saya takutkan bukan soal
nilai. Tapi, ini soal kewenangan dosen untuk mencoret peserta didik. Ya, saya
harus menghadapi ini, diomeli atau bahkan dicerca. Namun, saya ingat beberapa
hal tentang psikologi. Di hari saya akan dihakimi. Saya sengaja berpakaian yang
sangat rapih dengan kemeja hitam lengan panjang dan celana dasar. Memang saya
biasa rapih tapi, tidak pernah serapih ini. Teman-teman saya beberapa kali
bertanya alasan saya berpakaian begini (maklum anak teknik). Lalu, saya jawab, “Tidak apa-apa. Memang sedang ingin rapih.”
Tiba jam masuk kelas dan kuliah
dimulai dengan tatapan sangar Bu dosen. Dia berkata bahwa ia amat kecewa dan
merasa salah sudah percaya dengan kami. Lalu, saat sedang marah tadi, ibu itu
langsung menyebut nama saya, “Edo! Kamu
yang membocorkan ini. Ini inisiatif kamu atau mereka yang meminta?” Saya
jawab, “Mereka yang meminta coretan saya
Bu.” Ibu itu sepertinya kurang percaya, “Benar
bukan kamu yang justru menyerahkanya sendiri?” Dengan tegas saya jawab, “Iya Bu.”
Anehnya ibu itu tidak semurka
seperti yang digambarkan semua anak kelas siang. Saya pikir manipulasi saya
berhasil. Pakaian rapih melambangkan kepribadian yang gigih, taat peraturan,
disiplin, alim, dan penyuka angka. Setelah selesai marah-marah yang ternyata hanya
berjalan singkat. Dia melanjutkan kembali kuliah dengan sesekali melihat ke arah
saya sambil bilang, “Kalau memberi tahu
cara/jalanya itu boleh.” Di akhir
kuliah dia menceritakan tentang orang-orang yang juga pernah mencurangi
ujianya. Mereka semua berakhir dengan nilai nol (0).
Ya, namanya bahasa tidak langsung.
Saya bisa paham bahwa ibu itu masih memberi dispensasi pada saya. Jadi, saya
pun berterimakasih pada bu dosen karena tidak menghanguskan nilai saya. Memang,
sebelumnya Dika teman baik saya dari kelas siang bersedia membela. Katanya, ia mengirim SMS ke bu dosen. Mungkin
itulah yang membuat murka ibu itu jadi lebih reda. Namun, yang saya heran
adalah saat tahu nama orang yang menyebutkan saya sebagai pembocor ternyata
kurang saya kenal.
Ceritanya bermula saat bu dosen
curiga dengan peningkatan dramatis 4 orang tertentu di kelas siang. Dia yang
tadinya mendapatkan nilai 2 kini malah bisa mendapatkan nilai nyaris sempurna.
Bahkan jadi yang tertinggi di kelas. Kecurigaan terbukti saat 4 orang ini (dikurangi
Dika karena tidak masuk) disuruh maju ke depan. Mereka diharuskan mengerjakan
soal yang sama. Ternyata tak seorang pun dari mereka mampu mengerjakanya.
Peningkatan drastis ini juga dialami
oleh seluruh peserta kelas siang. Jadi, keputusan ibu itu adalah “Mengulang ujian” denga soal hukuman.
Teman dekat saya dengan lirih mengutarakan empatinya pada kakak-kakak tingkat
yang tidak tahu apa-apa. Memang salahnya, teman dekat yang saya beri bocoran
ini malah mengerjakan soal di kosan orang. Sehingga seluruh makhluk bisa
leluasa meng-copy-paste hasilnya.
Dua dari empat orang yang ketahuan
itu sudah saya maafkan.Tapi dua yang tidak terlalu saya kenal ini. Bukanya
minta maaf dan mengaku atau minimal bicara baik-baik. Mereka malah melenggang
saja bahkan di depan saya tanpa menegur sedikitpun, “Benar-benar cacat adat.” Ujar saya. Akhirnya soal yang tadinya
sudah ada 5 kode pun dibagi lagi jadi kode pagi dan siang. Dengan ini saya
yakin tidak akan ada lagi kebocoran. Maaf ya bu karena sudah, mempersulit ibu
dengan mengoreksi 10 varian soal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar