Pendidikan yang Tidak
Mencerdaskan
Sedikit kritik sosial dari pengenyam
pendidikan formal negeri ini, mungkin bisa bermanfaat. Saya merasa telah
terlalu banyak membuang waktu di sekolah. Seingat saya waktu sekolah dulu, guru
dari beberapa bidang studi datang bergantian. Ada yang saya suka dan ada juga
yang tidak. Tahukah anda bahwa sebagian besar perkembangan murid dipengaruhi
gurunya. Jika gurunya baik maka, baik pula hasil didikanya.
Saat melihat layar televisi, saya
terperangah melihat kelakuan brutal anak-anak SMA. Saya jadi bertanya, “Apakah memang anak-anak ini terlahir
brutal? Atau memang mereka yang terkondisikan begitu?” Hal yang lebih
mencengangkan lagi adalah, mereka melakukanya saat masih berseragam. Bagi saya,
saat seseorang memakai seragam itu menandakan mereka adalah “Generasi penerus bangsa dari golongan
terpelajar”. Stop membicarakan ini!
Karena, saya tahu mereka hanya golongan kecil saja.
Sekarang mari kita lihat para
pelajar yang berprestasi! Mereka meraih banyak medali emas dari olimpiade sains
internasional. Mengalahkan banyak Negara maju. Tapi, coba lihat! Apakah
diantara anak-anak cerdas ini ada yang pernah memenangkan Nobel dalam bidang
inovasi? Kenapa justru yang memenangkanya adalah mereka yang dari kecil hanya
berkutat pada bidangnya? Kenapa bukan kita yang jelas-jelas tahu banyak hal?
Apakah semakin banyak hal yang dipelajari justru, akan malah semakin
mendangkalkan pengetahuan?
Syukurlah pemerintah sekarang sudah
mulai paham permasalahan pendidikan dengan memperbanyak sekolah kejuruan.
Diharapkan, ketika lulus merekalah yang akan membuka lebih banyak lahan
pekerjaan. Tapi, bagaimana dengan lulusan SMA yang tidak punya keahlian khusus
seperti saya? Apakah saya harus terus memberatkan orang tua hingga nanti
mendapatkan kerja?
Saat banyak orang dewasa meributkan
masalah moral anak ABG. Tidak pernahkah mereka berpikir bahwa pelajaran Agama
hanya 2x45 menit dalam satu minggu? Kenapa ketuhanan diletakan pada sila
pertama sedangkan implementasinya begini? Saya memang bukan orang yang berhak
mengatakan tentang kata “Seharusnya”.
Lalu, ketika merasa dirugikan oleh sistem ini. Saya tidak tahu harus meminta
pampasan ke mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar