Sebelumnya saya ucapkan selamat hari
listrik nasional ke-67. Pada kesempatan ini juga saya sekaligus hendak
mengapresiasi upaya Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyelenggarakan kontes
ini. Seperti yang kita tahu, belakangan marak unjuk rasa dan aksi anarkis dalam
menyampaikan aspirasi atau keluhan terhadap pelayanan PLN. Ajang ini merupakan
wadah yang tepat serta kreatif guna menyuarakan hal tersebut.
Listrik merupakan infrastruktur
kunci pendukung kemajuan suatu bangsa. Namun, kenyataanya masih banyak saudara
kita di pelosok sana yang belum sepenuhnya merasa merdeka karena tidak tersambung
listrik. Visi 75/100 PLN pada tahun 2020
merupakan jawaban atas hal ini. Walaupun, dalam pelaksanaan terdapat banyak
aral melintang. Seperti kendala pendanaan, sulitnya mendapatkan pasokan gas dan
batu bara, topografi unik Indonesia, inefisiensi, mindset birokrat, dsbg.
Masalah rupanya tidak cuma di mereka
yang belum terlayani listrik. Tapi, juga ada pada kami yang sudah menikmatinya.
Bisa dibilang, di luar Jawa-Bali pasokan listrik kritis. Sering terjadi
pemadaman bergilir, daya kurang stabil, serta ketersediaan pasokan yang tidak
sesuai dengan pertumbuhan lokal. Bahkan, di daerah penghasil utama gas alam dan
batu bara sekalipun, kelistrikanya tergolong miris. Listrik padam seharian
hingga mengganggu kegiatan perekonomian.
Pemerintah juga kerap tidak bijak
dalam menyikapi problem operasional PLN. Contohnya usulan kenaikan TDL yang
sempat heboh kemarin. Wacana ini dinilai lucu. Karena yang sebenarnya terjadi
adalah pembangkit PLN banyak yang menggunakan BBM. Terang saja saat harga
minyak dunia melonjak Biaya Pokok Produksi (BPP) pun ikut naik. Alih-alih
mencari solusi sistematis jangka panjang, pemerintah justru memilih opsi
mengurangi subsidi.
Mungkin saya mulai keluar jalur
dengan menyinggung soal political will pemerintah. Tapi sebagai rakyat,
setidaknya saya memiliki beberapa harapan untuk PLN ke depanya: (1) Tarif yang tidak
hanya didasarkan kuantitas tapi juga kualitas. Tidak adil jika listrik kualitas
Jakarta disamakan tarifnya dengan listrik Kalimantan. (2) Insentif bagi
pelanggan yang melakukan penghematan listrik. (3) Adanya kampanye penghematan
yang lebih masif dengan menggandeng Kominfo sebagai mitra PLN. Perlu
ditumbuhkan kesadaran bahwa lebih mudah menghemat 1 MW ketimbang
membangkitkanya. (4) Efisiensi serta transparansi ongkos produksi. Ini diharapkan
akan berimbas pada murahnya harga listrik di tingkat pelanggan. (5) Mungkin
terdengar aneh dan agak mahal tapi, saya berharap PLN mau mencoba menyediakan
unit penyimpan daya. Unit ini berfungsi sebagai penyimpan kelebihan daya Jika
generator dioptimalkan pada jam normal. Daya yang tertampung nantinya digunakan
untuk menutupi kekurangan saat beban puncak. (6) Kebijakan listrik masa depan yang
ramah lingkungan. (7) Optimasi struktur organisasi PLN. (8) Tercapainya kemandirian energi tiap
daerah dengan mengandalkan pembangkit-pembangkit lokal bertenaga terbarukan.
(9) Berkurangnya angka pencurian listrik. (10) Kualitas listrik yang lebih baik
bagi pelanggan non Jawa-bali. (11) Berkurangnya ketergantungan PLN terhadap
BBM. (12) Akselerasi pemberantasan praktek percaloan sambungan listrik.
Saya harap dengan begini PLN sanggup
menghemat lebih banyak subsidi. Sehingga bertambahlah anggaran untuk mewujudkan
visi Indonesia 100% teraliri listrik tepat 75 tahun kemerdekaan pada 2020. Namun,
bagi saya 75/100 semestinya dibarengi dengan visi 24/365. Listrik tidak hanya
dinikmati 100% rakyat tapi juga 24 jam sepanjang tahun. Kita harus tunjukan
bahwa Indonesia mampu seterang-benderang Eropa dan negara maju lainya jika
dilihat dari atas satelit.
Rujukan:
Konversi ITB, Uni Sosial Demokrat, Al-Khilafah
Bukti follow |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar