Jumat, 28 Desember 2012

Menumbuhkan Kesadaran akan Pentingnya Konservasi Sumber Daya Air




Daftar Isi
1.     Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)
2.     Hidrologi
3.     Bahaya Limbah Cair
4.     Konservasi Sumber Daya Air Pesisir
5.     Penutup
6.     Daftar Pustaka, Artikel Referensi, dan Slide Power Point


Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)
            Apakah anda pelanggan PDAM? Tahukah anda bagaimana proses hingga air bisa keluar dari keran rumah? Mari kita lakukan sedikit eksperimen sains! Belilah tawas dan siapkan minimal tiga toples berukuran sedang—dengan volume sama! Ambil contoh air yang menurut anda cukup keruh lalu tuangkan ke dalam tiap toples sama rata! Bubuhkan tawas ke dalam toples dengan dosis yang bervariasi! Misal: Toples A satu sendok makan tawas, B dua, C tiga, dst. Kemudian aduk cepat selama tiga menit dan lambat selama sembilan menit untuk masing-masing toples! Terakhir, biarkan mereka mengendap dan amati prosesnya! Perhatikan dosis mana yang paling efektif menurunkan kekeruhan!
            Eksperimen di atas dikenal sebagai uji bejana atau “Jar test”—inilah yang sehari-hari dilakukan petugas bagian produksi PDAM sebelum menentukan dosis koagulan. Dalam percobaan tadi anda baru saja mempraktekan tiga prinsip pengolahan air sekaligus: koagulasi (penambahan zat penggumpal/koagulan yang disertai pengadukan cepat), flokulasi (pengadukan lambat), dan sedimentasi (pengendapan). Unit penyedia air bersih PDAM sendiri terdiri atas intake, pompa, saluran transmisi, instalasi produksi, reservoir, dan jaringan distribusi. Intake merupakan bangunan yang bertugas menyadap air dari sumber air baku. Unit tersebut terdiri dari rumah pompa, bak penampung, dan saluran pembawa. Sistem transmisi adalah rangkaian pipa dan pompa yang digunakan untuk menyalurkan air dari intake menuju bagian produksi. Instalasi produksi merupakan seksi yang bertugas mengolah air hingga mencapai baku mutu yang ditetapkan. Instalasi produksi terdiri atas unit koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dan clear well (sumur kontrol). Jika kualitas air dinilai sudah layak maka bisa langsung disimpan di reservoir—sebelum akhirnya didistribusikan ke pelanggan. Bila tidak, maka air tersebut dikembalikan lagi ke depan (unit koagulasi). Setelah masuk reservoir, air selanjutnya dialirkan menurut daerah layananya masing-masing. Pada tiap daerah layanan juga masih ada lagi reservoir khusus distribusi.
Diagram alir penyediaan air minum
Unit Produksi PAM

            Perencanaan debit produksi air suatu kota disesuaikan dengan jumlah penduduk plus proyeksi pertumbuhan beberapa tahun ke depan. Status kota juga menentukan total konsusmsi air per orang per hari (i. e besar, kecil, sedang, atau metropolitan). Tentunya PDAM telah mengasumsikan bahwa tidak semua penduduk mampu dijangkau. Maka itu, mereka juga memasukan perhitungan kebutuhan air hidran umum ke dalam perencanaan. Total kebutuhan air hidran umum dan domestik (rumah tangga) kemudian dijumlahkan dengan kebutuhan air non domestik (i. e sektor komersial, rumah ibadah, perkantoran, sekolah, dsbg) plus faktor kebocoran sehingga didapatlah debit kebutuhan air satu kota. Berikut detail perhitunganya:

klik untuk memperbesar

Rumus
Keterangan:
Qsr                   = Kebutuhan air sambungan rumah (Lt/Hari)
Qhu                  = Kebutuhan air hidran umum (Lt/Hari)
Qd                   = Kebutuhan air sambungan rumah dan hidran umum (Lt/Hari)
Qnon d              = Kebutuhan air non domestik (Lt/Hari)
Q­tot                 = Total kebutuhan air seluruh kota (Lt/Hari)

Langkah Perhitungan
(i)                Qsr             = (Jml. Penduduk x Estimasi Kebutuhan Air) x 0.8
(ii)             Qhu            = (Jml. Penduduk x Debit Hidran umum) x 0.2
(iii)           Qd              = Qsr + Qhu
(iv)           Qnon d           = Qd  x 0.3
(v)              Qtot            = (Qd + Qnon d) + {(Qd + Qnd) x 0.2 kebocoran}
 
Contoh Perhitungan
Diketahui            : Jml. Penduduk = 1.000.000 jiwa (metropolitan)
Ditanya               : Kebutuhan air per hari seluruh kota

Jawab
Qsr                             = (1.000.000 x 190 Lt/Orang/Hari) x 0.8
                              = 152.000.000 Lt/Hari
hu                        = (1.000.000 x 30 Lt/Orang/Hari) x 0.2
                              = 6.000.000 Lt/Hari
Qd                          = 152.000.000 + 6.000.000
                              = 158.000.000 Lt/Hari
Qnon d                    = 158.000.000 x 0.3
                              = 47.400.000 Lt/Hari
Qtot                       = (158.000.000 + 47.400.000)
                              = 205.400.000 + (205.400.000 x 0.2)
                              = 205.400.000 + 41.080.000
                              = 246.480.000 Lt/Hari
Sebelum menyalurkan air tentunya PDAM membutuhkan sumber air. Sumber tersebut dapat berasal dari air hujan, air permukaan (i. e sungai, waduk, dan danau), air tanah, atau mata air. Sumber air baku harus memenuhi syarat kualitas, kuantitas, serta kontinuitas jika ingin dimanfaatkan. Kualitas air ditentukan oleh parameter kimia, biologi, fisika, dan keradioaktifan. Parameter fisika terdiri atas tingkat kekeruhan, suhu, daya hantar listrik, warna, bau, dan rasa. Parameter kimia terdiri atas pH, kandungan BOD, COD, DO, mineral, dan zat organik-anorganik apa saja yang terlarut dalam air. Parameter biologi terdiri atas pengukuran jumlah bakteri patogen (penyebab penyakit) dan mikro organisme lain yang hidup di dalam air. Terakhir adalah parameter keradioaktifan yang merupakan nilai kandungan radiasi air. Suatu sumber yang debitnya besar namun kering saat kemarau tidak bisa dijadikan asal air baku karena dianggap tidak kontinu. Begitu juga dengan sumber air yang kualitasnya bagus dan kontinu namun kuantitasnya kurang juga tidak bisa dijadikan asal air baku—kecuali cadangan.

Mutu Air
Peruntukan
Kelas 1
Dapat digunakan untuk air baku air minum,dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Kelas 2
Dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Kelas 3
Dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Kelas 4
Dapat digunakan untuk mengairi, pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Tabel klasifikasi mutu air berdasarkan pasal 8 PP no. 82 Tahun 2001

Terlepas dari itu semua sebenarnya tiap sumber air harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Seperti air hujan yang walaupun miskin mineral (lunak), debitnya tergantung musim, dan kadang mengandung zat kororsif namun, ia cenderung lebih jernih sehingga sayang jika terbuang. Daerah tropis yang bercurah hujan tinggi layaknya Indonesia, baik di kota maupun desanya wajib menyediakan embung sebagai penampung air di kala hujan dan menjadi cadangan suplai ketika kemarau. Kendati debit mata air tidak bisa diandalkan tapi, kualitasnya yang baik sudah cukup untuk menunjang kebutuhan masyarakat sebuah desa. Meski, ini masih tergantung lagi kesadaran lokal untuk menjaga hutan sebagai penyangga cadangan air. Kemudian ada juga air tanah yang merupakan sumber lain yang luas digunakan rakyat Indonesia. Air tanah dibagi lagi menjadi air tanah dangkal dan dalam. Air tanah memenuhi syarat kualitas, kuantitas, dan kontinuitas sebagai air baku. Namun, pengambilanya wajib dibatasi demi menjaga kelestarian air.
      Maka sebagai pilihan sumber air baku, PDAM biasanya akan memanfaatkan air permukaan. Umumnya air permukaan sudah tercemar berbagai zat berbahaya oleh karena itu membutuhkan pengolahan sebelum disalurkan ke pelanggan. Perencanaan pembangunan unit produksi PAM menyangkut studi tentang kadar air, kontinuitas, penggunaan lahan pada daerah cakupan air, penilaian risiko kontaminasi, kualitas air selama rentang waktu tertentu, prediksi kebutuhan air di masa datang, dan aspek pembiayaan.
Rumit bukan? Sayangnya tidak semua orang tahu dan paham mengenai ini hingga munculah oknum nakal yang sengaja ingin main curang. Tindakan itu dapat berupa pencurian air dan penggunaan pompa untuk menyedot air dari pipa PDAM. Pencurian air jelas merugikan banyak pihak karena mengurangi jatah pasokan suatu daerah. Penggunaan pompa untuk menyedot air dari pipa PDAM juga bisa mengganggu konsumen lain. Sebab tekanan yang harusnya cukup untuk menyalurkan air sampai ke ujung daerah pelayanan berkurang. Inilah penyebab mengecilnya debit air di beberapa rumah. Selain itu pula tingkat kebocoran perpipaan PDAM sudah cukup besar yang bisa mencapai 40%. Pada beberapa daerah, air tidak memadai untuk dialirkan 24 jam. Menyiasati itu, PDAM akhirnya hanya mengalirkan air pada jam-jam puncak penggunaan seperti pagi dan sore hari. Terbatasnya akses air bersih dan sanitasi juga diestimasi menimbulkan kerugian ekonomi 2% dari PDB per tahun. Maka bila sudah tahu begitu, sepatutnyalah kita memanfaatkan air PAM dengan searif mungkin.


Hidrologi
            Bicara tentang air, sesungguhnya jumlah zat ini di bumi tidak pernah berkurang ataupun berlebih. Hal yang terjadi hanyalah perubahan fase zat (i. e menguap, menyublim, atau membeku). Terdapat 1,4 triliun km3 air di dunia—dan sebagian besar ada di lautan. Komposisi air bumi 97,5% adalah air asin, 2,5% tawar, sedangkan sisanya berbentuk es atau gas. Jumlah 2,5% air tawar tadi terdiri atas 68,7% dalam bentuk gletser, 30,1% sebagai air tanah, dan 0,8% berupa salju—sedangkan 0,4% sisanya terhampar di permukaan tanah.
            Air berputar dalam sebuah siklus bernama “Siklus hidrologi”—yang juga bagian dari daur biogeokimia. Siklus dimulai saat terjadi penguapan air—akibat panas matahari—di lautan yang kemudian naik ke langit (evaporasi). Penguapan terjadi pula pada tumbuhan, hewan, dan manusia (evapotranspirasi). Uap air yang naik ke angkasa kemudian berkumpul membentuk awan. Ketika awan tersebut jenuh, ia akan turun sebagai hujan. Air hujan selanjutnya ada yang mengalir di permukaan (run-off) dan ada pula yang meresap ke pori-pori tanah (presipitasi). Selain tersimpan pada akuifer, sebagian air tanah juga ada yang bergerak kembali menuju sungai dan lautan.

Siklus Hidrologi
            Hujan berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup di bumi. Hujan berfungsi sebagai penyedia air bagi hewan, manusia, dan tumbuhan. Selain itu, hujan dapat menjernihkan udara yang kotor karena asap dan debu. Celakanya di beberapa daerah yang padat kendaraan bermotor dan industri berat terdapat banyak gas berbahaya yang setiap hari diemisikan ke udara. Seperti NOX dan SO2 yang apabila bereaksi dengan uap air di udara akan membentuk asam nitrat (HNO3) dan asam sulfat (H2SO4) yang amat berbahaya. Zat-zat tersebut dapat berikatan dengan air dan rentan menimbulkan hujan asam. 
            Hujan identik pula dengan banjir dan genangan di jalan raya. Ini sebenarnya disebabkan oleh minimnya resapan dan buruknya drainase. Suatu daerah yang tadinya dipenuhi vegetasi kini telah berubah jadi perumahan. Akibatnya, air yang dulunya mengalir perlahan dan meresap ke mana-mana sekarang justru langsung dilimpahkan ke sungai. Debit limpasan tersebut tentu lebih besar jika dibandingkan sebelum adanya alih fungsi lahan. Kombinasi antara pendangkalan sungai dan pendirian kegiatan di sepanjang bantaran ialah sebab utama datangnya banjir.
            Drainase Indonesia yang dirancang dengan topologi kombinasi air kotor-air hujan juga menambah pelik permasalahan. Walaupun mungkin secara desain ideal tapi, selokan yang sebagian besar terbuka membuat banyak sampah leluasa masuk dan menimbulkan penyumbatan. Banyak drainase di Indonesia terbukti kurang perawatan. Ini terlihat pada kondisinya yang dipenuhi endapan serta tak jarang mengalami pendangkalan. Air kotor yang berasal dari selokan juga dibiarkan begitu saja mengalir ke badan air tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Ini berpotensi mengancam kehidupan hayati sungai—karena bisa saja limbah yang mengalir mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) atau kotoran.
            Sebenarnya telah tersedia beberapa solusi guna menangani kasus-kasus di atas. Contohnya adalah “Rain harvesting” atau menampung hujan dalam sebuah tangki khusus. Air yang tersimpan selanjutnya dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti cuci piring atau menyiram tanaman. Solusi ramah lingkungan juga direkomendasikan pada mesjid. Air wudu yang banyak terbuang sebaiknya dimurnikan kembali untuk wudu selanjutnya. Hal sederhana lain dalam menjaga ketercukupan air bisa lewat pembuatan sumur biopori. Lubang-lubang kecil yang terbentuk di tanah terbukti membantu penyerapan air. Ketersediaan air pula bisa lebih terjamin bila suatu daerah menyediakan sekurang-kurangnya 30% ruang terbuka hijau (RTH).  Lahan tersebut selain sebagai penyedia air dan oksigen juga bisa dimanfaatkan untuk taman kota, pemakaman, atau situs rekreasi.
            Pembenahan sistem penyaluran air kotor kota patut pula diperhatikan. Air kotor atau limbah cair domestik sudah sewajarnya terpisah dari saluran air hujan dan diolah tersendiri. Setelah dianggap aman, barulah limbah-limbah ini dilepaskan ke alam. Bangungan yang mengolah air buangan tersebut harus dirancang ekonomis, mudah dirawat, dapat mengantisipasi pertumbuhan debit limbah di masa datang, dan awet. Pengolahan limbah domestik dapat dilakukan per rumah (on site) ataupun terpusat (off site). Instalasi pengolah limbah bisa bernilai ekonomis. Sebab sanggup menghasilkan metan yang dapat menggantikan LPG. Limbah cair yang kaya nitrogen juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk.
            Langkah konkret konservasi air berikutnya ialah pelestarian hutan di hulu-hulu sungai. Hal yang umumnya merusak hutan penyangga hulu adalah perladangan berpindah dan perluasan pemukiman. Tanah yang kurang tanaman keras rawan terhadap erosi. Material yang terbawa air saat hujan tentu akan menambah volume sedimentasi. Pihak yang merasakan tulah utamanya berdiam di bantaran sungai berarus pelan dan muara. Karena di daerah-daerah tersebutlah sedimen terkonsentrasi dan menimbulkan pendangkalan.


Bahaya Limbah Cair
            Hampir semua kegiatan manusia menghasilkan limbah. Beberapa limbah cukup berbahaya jika dibuang begitu saja ke lingkungan. Limbah tersebut dapat berasal dari hasil aktivitas industri, rumah sakit, tempat pengolahan akhir sampah (TPA), pertanian, pertambangan, peternakan, dan sektor domestik. Tempat-tempat tersebut setiap harinya menghasilkan logam berat, virus, kuman patogen, bau, desinfektan, atau polutan organik. Tak jarang lokasi mereka berada di tengah perkampungan padat penduduk. Sehingga rawan menimbulkan gangguan kesehatan bagi masyarakat.
            Sebuah contoh mengenai bahaya limbah yang cukup populer di Amerika adalah kasus kanal Love. Niagara Falls di awal abad 20 merupakan pusat bagi industri kimia. Produk kimia yang dihasilkan antara lain natrium hidroksida—yang merupakan produk elektrolisa natrium klorida. Elektrolisa ini juga menghasilkan produk samping dalam jumlah besar yang tidak diinginkan, yaitu klor. Penelitian menemukan alternatif pemanfaatan produk ini menjadi bahan organik berklor seperti plastik dan pestisida. Saat itu pemerintah dan industri belum sadar efek samping produk ini. Belum ada satu pun pihak yang paham pestisida seperti DDT, endrin, atau bahan organik berklor akan mendatangkan petaka di kemudian hari.
            Pada 1930-an, Hooker Chemical and Plastic Corporation yang memproduksi bahan kimia mulai menimbun limbahnya di bagian utara kanal Love. Hingga 1947 bisa dikatakan lahan tersebut menjadi tempat pengurukan berbagai jenis limbah terutama hasil industri termasuk abu sisa pembakaran dari kota. Bahkan dikabarkan angkatan darat AS mengubur sejumlah besar residu senjata biologis di sana, walaupun secara resmi dibantah oleh pihak Pentagon. Tahun 1952 kanal Love ditutup oleh Hooker Chemical. Tahun 1953, pihak kota meminta Hooker Chemical menjual sedikit lahan kanal untuk pembangunan sekolah baru. Pihak Hooker melepas sebagian kanal tersebut ke pemerintah kota hanya seharga $1.
            Sekolah kemudian dibangun berdampingan dengan daerah yang sebelumnya adalah lokasi uruk limbah industri. Sebagian lahan tersebut dijadikan taman bermain. Semenjak itu sering dijumpai anak-anak kegirangan memainkan residu fosfor yang memercikan api bila dilemparkan ke bebatuan. Tahun 1958, tiga anak-anak mengalami luka bakar akibat paparan residu yang muncul ke permukaan. Seorang ibu di dekat kanal Love melahirkan bayi cacat fisik dan mental namun, hal itu dianggap alami. Hingga di suatu pagi tahun 1974, satu keluarga mendapati permukaan air kolam renangnya naik 60 cm. Ketika kolam ini dibongkar, tempat tersebut langsung dipenuhi cairan berwarna kuning, biru, dan ungu dengan sifat sangat tajam yang sanggup menghanguskan akar pohon di sekitarnya. Tahun 1979, sebuah keluarga lain mendapati masalah di basementnya karena rembesan lumpur hitam. Segala upaya sudah dikerahkan untuk menghentikanya. Akhirnya, mereka membuat lubang guna mengetahui apa yang sesungguhnya terdapat di balik tembok. Kemudian munculah sejumlah besar cairan hitam mengalir memenuhi ruangan. Sejak itulah masalah kanal Love menyeruak ke permukaan.

Salah satu lahan kanal Love
            Delapan bulan setelah kejadian kolam renang di atas, dilakukan uji sampel udara di beberapa basement rumah di area tersebut. Hasilnya sangat mengejutkan, udara di daerah ini mengandung bahan toksik di atas ambang baku mutu. Survey kesehatan juga mulai digalakan dan menemukan bahwa angka keguguran spontan di sana ternyata 250 kali lebih tinggi dibanding kondisi normal. Sampel darah yang terkumpul juga menunjukan eskalasi angka kerusakan hati. Kelahiran cacat fisik dan mental juga jamak ditemui. Selain itu, senyawa-senyawa toksik berhalogen terdeteksi pada sistem penyaluran air buangan kota (riol). Analisa lanjutan menunjukan bahwa pencemaran kimia dalam konsentrasi tinggi telah mengotori air tanah—termasuk di antaranya bahan penyebab kanker (karsinogen) seperti benzena, kloroform, dan trikoloroetilena. Hooker Chemical akhirnya mengumumkan bahwa sekitar 22.000 ton limbah kimia telah ditimbun di lahan itu.
            Sejak tahun 1976, sejumlah bahan kimia mulai muncul di halaman beberapa rumah. Keluhan mereka pada pemerintah kota tidak direspon, agaknya mereka enggan mengganggu bisnis Hooker yang mempekerjakan 3000 penduduk setempat dan tengah merencanakan pembangunan pusat kegiatan senilai $17 juta. Akhirnya pada 1977 pemerintah kota mengakui keberadaan masalah ini meski, tetap tak mau menunjuk siapa yang bertanggung jawab. Mereka menganggap ini bukanlah masalah serius. Pendapat itu bertahan sampai pemerintah negara bagian mulai ikut campur.
            Pemerintah negara bagian memerintahkan komisi kesehatan melakukan inspeksi serta pemagaran di sekeliling lahan dan memberikan ventilasi pada basement tercemar. Berdasarkan rapat dengan penduduk, diputuskan penutupan sekolah dan evakuasi anak-anak serta wanita hamil di sekitar kanal. Mereka diungsikan atas bantuan USEPA. Sebagian besar dari anggota keluarga ini rutin mengalami gangguan fisik seperti iritasi, sakit kepala, cepat lelah, susah tidur, dan cacat mental. Peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah negara bagian adalah menghentikan sama sekali pelindian yang tak terkendali dan mencegah kemungkinan pelindian di masa depan serta menutup total kanal. Suatu rencana remediasi dan perbaikan mulai dirancang—di antaranya pembuatan drainase untuk mengalirkan lindi dan memompanya ke suatu tangki pengumpul untuk kemudian diolah sebelum nantinya dilepaskan ke lingkungan. Kanal tersebut juga dilapisi 2,5 m tanah kedap untuk mencegah masuknya air dari luar.
            Remediasi dianggap terlambat bagi para penduduk sekitar, sekalipun pemerintah negara bagian mengajukan tuntutan sebesar $635 juta pada Hooker Chemical. Mereka menginginkan kompensasi lebih dari itu. Studi di tahun 1980 menemukan bukti kerusakan kromosom penduduk kanal Love. Sehingga presiden Carter kala itu memerintahkan evakuasi 700 kepala keluarga lagi namun, pemerintah negara bagian menolak sampai adanya kejelasan kompensasi bagi penduduk. Secara teknis Hooker menyatakan bahwa teknologi pengolahan yang digunakan telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tapi, akhirnya dicapai kesepakatan di pengadilan antara 1.345 penduduk kanal Love dengan Occidental Petroleum induk perusahaan Hooker Chemical.
            Kasus kanal Love menyebabkan adanya perbaikan dan pengetatan peraturan yang berlaku di Amerika Serikat dalam menangani limbah berbahaya. Sebab ternyata bukan hanya lahan ini saja yang secara prosedural sebetulnya sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Remediasi lahan yang terkontaminasi kini menjadi salah satu program yang digencarkan AS bagi lokasi yang tercemar.
            Terkadang kita sulit menyalahkan industri karena tidak mengolah limbahnya. Lewat kunjungan ke pabrik gula PT. Gunung Madu Plantation, saya mengetahui bahwa untuk membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) pengusaha setidaknya harus menyisihkan 20% dari keseluruhan modal. Tidak berhenti di sana, setelah pembangunan pun pengusaha harus menyediakan dana khusus bagi pemeliharaan unit pengolah limbah. Inilah yang mungkin membuat beberapa industri sengaja mengencerkan limbah sebelum dibuang ke sungai guna menekan ongkos operasi.
            Pembuangan limbah berbahaya ke lingkungan tidak hanya dipraktekan perusahaan besar tapi, juga oleh beberapa UKM. Beberapa contoh kasusnya dapat kita temui di sungai Prajagumiwang, desa Pabean Udik, kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. Sepanjang tiga kilometer aliran sungai berubah jadi merah muda dan menimbulkan bau tak sedap. Warga sekitar sudah tidak bisa lagi memanfaatkan sungai untuk kebutuhan MCK. Warga khawatir karena beberapa orang yang menggunakan air dari sana langsung gatal-gatal. Warna air Prajagumiwang kerap berubah-ubah. Jika pagi warnanya hijau, siang merah muda, dan sore jadi cokelat. Ditengarai peristiwa ini akibat pembuangan zat pewarna tekstil. Karena, di sekitar daerah tersebut ditemui Industri rumahan Batik Paoman. Limbah cair industri tekstil secara garis besar mengandung logam-logam berat seperti arsenik (As), krom (Cr), kadnium (Cd), timbal (Pb), tembaga (Cu), dan seng (Zn); hidrokarbon terhalogenisasi; zat warna serta pelarut organik. Zat-zat di atas bisa memicu kanker dan gangguan kesehatan kronis lainya. Bahan berbahaya tersebut beresiko mencemari tanah dan lambat laun masuk ke air sumur penduduk.
            Pencemaran lain yang dilakukan oleh UKM juga terjadi di kelurahan Panjang Wetan, Pekalongan Utara. Belasan usaha pengolahan ikan asin di sana mengalirkan buangan industrinya di selokan warga sehingga menimbulkan bau busuk menyengat. Itu masih diperparah oleh selokan yang sering tersumbat yang membuat limbah mengendap di tengah lingkungan warga. Limbah pengolahan ikan asin menghasilkan materi organik yang besar. Jika limbah tersebut dibuang langsung ke sungai akan berakibat pada penurunan kualitas air—sehingga tidak layak konsumsi karena warna dan baunya yang berubah.
            Industri UKM yang berada dekat sungai sering begitu saja membuang limbah cairnya. Ini sejalan dengan pandangan masyarakat umum yang meganggap bahwa sungai adalah tong sampah raksasa. Padahal bisa dibayangkan jika sungai yang dipenuhi limbah berbahaya seperti kotoran manusia dan sisa pewarna tekstil meluap. Selain itu, menurunnya kualitas air baku akibat pencemaran juga rawan memicu kelangkaan air di masyarakat. Kerugian akan bersifat akumulatif apabila tidak ada tindakan nyata dari pihak-pihak terkait. Sebuah solusi yang ditawarkan adalah dengan mendorong pemerintah setempat membangun IPAL komunal bagi seluruh UKM sejenis di daerah tersebut. Uang operasional dan pemeliharaan instalasi selanjutnya bisa dibebankan pada masing-masing pengusaha. Program tersebut tentunya harus didahului oleh penyuluhan-penyuluhan guna menumbuhkan kesadaran di tingkat produksi.
            Masalah pencemaran air baku juga sering terjadi pada daerah-daerah sekitar tempat pengolahan akhir sampah (TPA). Rembesan lindi yang mengandung banyak zat berbahaya mencemari sumur-sumur gali penduduk sekitar. Sebenarnya di awal pendirian, lokasi TPA sudah jauh dari aktivitas manusia. Namun, seiring waktu justru pembangunanlah yang melebar ke arah TPA. Prosedur pemilihan lokasi TPA mensyaratkan radius minimal 1 km dari pemukiman penduduk. Tapi, kenyataanya sekarang lokasi rumah penduduk ada yang berjarak kurang dari 100 m dengan TPA. Banyak pihak menuntut dilakukanya relokasi sebab selama ini merasa terganggu dengan adanya bau dan pencemaran air lindi. Terang hal tersebut tidak mudah dipenuhi dan pula dalam kasus ini warga atau pengembanglah yang salah karena memilih hunian di sekitar TPA.
            Menyoroti kinerja TPA, berdasarkan kunjungan saya ke TPA Bakung, Teluk Betung Barat, Bandar Lampung. Terungkap jelas bahwa instalasi pengolahan lindi di sana tidak berfungsi dengan baik lagi. Dapat dibuktikan dengan pengujian sampel air yang masuk (influen) dan keluar (efluen) instalasi yang nyaris tidak mengalami perbaikan baku mutu sama sekali. Celakanya hasil olahan lindi yang kurang maksimal tadi langsung dialirkan ke laut. Bisa dibayangkan jika plankton menyerap limbah-limbah tersebut lalu dimakan ikan dan akhirnya ikan disantap manusia.

Unit pengolahan lindi TPA bakung

            Bahaya limbah cair yang lebih mengkhawatirkan sebenarnya terjadi pada pemukiman padat penduduk. Di sini jarak antara septic tank dan sumur gali jarang ada yang lebih dari 10 meter. Sehingga sangat rawan terjadi perembesan substansi organik seperti E. Coli dan lindi yang berpotensi menimbulkan penyakit dan penurunan mutu air sumur. Dalam survey saya ke kelurahan Kota Karang, Teluk Betung Barat, Bandar Lampung. Penduduk sekitar yang sudah tinggal lebih dari 15 tahun di sana menuturkan bahwa telah terjadi perembesan lindi pada sumur mereka. Akibat kejadian tersebut warga sekarang terpaksa berlangganan PDAM untuk MCK dan membeli air galon untuk keperluan minum.
            Solusi masalah ini adalah dengan membangun septic tank komunal. Septic tank tidak lagi dibuat per rumah melainkan terpusat di suatu tempat. Penerapanya bisa digunakan pada daerah-daerah padat penduduk seperti di kota-kota besar. Septic tank tersebut tentu juga dapat memberi nilai ekonomis lewat metan yang dihasilkanya. Metan bisa direncanakan untuk dipipakan ke rumah-rumah penduduk sehingga menghemat pengeluaran dapur. Lalu bagi penyediaan air, memang sudah tepat bila dibebankan pada PDAM. Ini akan mengantisipasi warga beramai-ramai membuat sumur gali untuk mencukupi konsumsi harian mereka. Solusi lain bagi perumahan yang tidak memasang PAM adalah dengan membangun sarana penyedia air minum terpusat—ini guna mencegah pembuatan sumur bor oleh tiap individu. Air hanya disedot di satu titik lalu ditampung di reservoir untuk selanjutnya disalurkan ke tiap hunian.
Jauh dari kota, pencemaran air baku juga Kerap terjadi di daerah yang terdapat kegiatan pertambangan—utamanya penambangan emas rakyat. Rembesan limbah cair penambangan emas rakyat mengandung logam berat air raksa (Hg). Pada proses penambangan emas, air raksa/merkuri digunakan untuk mendorong laju pemisahan emas dari lumpur. Merkuri akan membentuk penumpukan partikel (aglomerasi) sehingga meningkatkan perolehan emas. Sebenarnya peraturan internasional sudah tidak lagi memperbolehkan penggunaan merkuri dalam pertambangan berskala besar.
Logam berat ini sangat berbahaya meskipun dalam konsentrasi rendah. Air raksa (Hg) larut dalam air dan ketika terakumulasi di perairan baik sungai atau laut dapat membahayakan masyarakat. Studi kasus menunjukkan pengaruh buruk merkuri seperti gemetar/tremor, kehilangan kemampuan berpikir, dan gangguan tidur dengan gejala kronis bahkan pada konsentrasi uap rendah (0,7–42 μg/m3). Penelitian menujukkan bahwa menghirup langsung merkuri selama 4-8 jam pada konsentrasi 1,1-44 mg/m3 menyebabkan sakit dada, batuk, hemoptisis, pelemahan, dan pneumonitis. Pencemaran akut merkuri menunjukkan akibat parah seperti terganggunya sistem syaraf, seperti halusinasi, insomnia, dan kecenderungan bunuh diri. Hal yang juga mesti diperhatikan adalah bahaya laten merkuri. Jika masuk ke perairan, zat ini akan terakumulasi pada ikan dan memberikan efek langsung jika ikan tersebut terkonsumsi. Maka itu upaya penanganan limbah ini sangat mendesak untuk dilakukan.
Penanggulangan pencemaran lingkungan di kawasan penambangan harus menggunakan teknologi yang telah terbukti, teruji, mudah diterapkan, dan tersedia secara lokal seluruh material pembuatannya. Salah satu teknologi klasik yang mumpuni adalah bioabsorber. Teknik ini pernah diaplikasikan pada konservasi sungai yang tercemar logam berat pasca revolusi industri di inggris. Teknik bioabsorbsi memanfaatkann tumbuhan air eceng gondok guna menyerap logam berat yang terlarut di perairan.
Eceng gondok memiliki kapasitas absorbsi besar untuk berbagai macam logam berat. Namun demikian, proses bioabsorbsi sangat sulit untuk menghasilkan air yang bebas logam berat. Selain laju penyerapan yang lambat, distribusi eceng gondok juga hanya mengapung di permukaan sehingga menyulitkan pengolahan yang merata. Hal ini bisa diatasi dengan desain embung yang luas namun dangkal atau dengan melibatkan proses pengolahan lanjut.
Sejatinya embung tersebut harus dijadikan tempat konsentrasi buangan air limbah pertambangan emas rakyat. Tentu saja aspek teknis untuk detail desain mengenai waktu tinggal dan lain-lain mesti disesuaikan dengan keadaan ril lapangan. Sebagai pengolahan akhir sebelum disalurkan ke badan air dapat ditambahkan juga saringan arang aktif untuk mengadsorpsi kandungan sisa yang belum dapat diikat oleh eceng gondok. Saringan arang aktif memiliki derajat pemisahan yang sangat tinggi sehingga menjamin kandungan logam berat keluaran sangat rendah.

Konservasi Sumber Daya Air Pesisir
            Beberapa daerah pesisir di Indonesia mengalami krisis air bersih akibat air sumur mereka berubah jadi asin. Pengalaman ini pernah saya temui saat mampir sholat di mushola pelabuhan Merak, Banten. Ketika kumur-kumur saya sedikit tersentak karena merasa airnya agak asin. Kejadian di atas juga menimpa masyarakat utara Jakarta. Peristiwa ini dikenal sebagai intrusi air laut. Penyebabnya adalah eksploitasi besar-besaran pada air tanah dalam kawasan pesisir. Tingginya penyedotan dan pertumbuhan sumur bor tidak dibarengi kemampuan pembaharuan alami air yang hanya 1 x 10-2 cm/detik. Akibatnya, akuifer yang tadinya bertekanan karena terisi air kini lowong dan kemasukan air asin.
            Eksploitasi air tanah dalam juga memicu penurunan muka tanah bahkan hingga titik di bawah permukaan laut. Daerah yang mengalami ini akan sering terkena banjir rob. Genangan yang terus-menerus selama bertahun-tahun terbukti menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Banyak di antara rumah penduduk lantainya harus ditinggikan 10-50 cm tiap lima tahun sekali. Beberapa rumah yang tergenang juga ditinggalkan oleh penghuninya. Tembok jadi retak, tanah urukan terendam, dan kusen banyak yang busuk. Kerugian akibat banjir rob dan penurunan tanah juga harus dirasakan pengelola kota. Karena mereka tiap lima tahun mesti meninggikan jalan-jalan arteri primer agar kegiatan ekonomi tidak terhenti. Banjir rob menyebabkan pipa serta peralatan distribusi air bersih mudah rusak karena berkarat. Air yang meresap ke tanah di pemukiman menambah volume septic tank penduduk sehingga pengurasan harus dilakukan rutin tiap dua tahun.
            Peristiwa ini bisa jadi pelajaran berharga bagi perencanaan pesisir di daerah lain. Memang ada solusi bagi banjir rob di atas tapi hal itu terlalu mahal. Pemerintah harus membangun dam seperti di Belanda untuk menjaga lahan yang berada di bawah level permukaan laut tetap kering. Satu-satunya langkah murah adalah pencegahan. Pemerintah daerah mesti menggelar penyuluhan yang tepat bagi masyarakat pesisir. Di samping itu pula, pemerintah wajib mengusahakan agar ongkos pemasangan PAM terjangkau. Berdasarkan survey di Kota Karang, terungkap bahwa biaya pemasangan instalasi PDAM mencapai Rp3.000.000—ini cukup memberatkan masyarakat golongan menengah. Pemerintah kota Bandar Lampung memang sudah menyediakan program instalasi baru yang hanya Rp500.000. Tapi, itu tidak menjangkau semua pihak.

Hutan Bakau
            Dilema Konservasi air bersih pesisir juga banyak terjadi di pedesaan. Kali ini kasusnya terkait dengan hutan mangrove. Kurangnya pemahaman warga lokal mengenai fungsi bakau membuat tumbuhan ini sering dibabat habis untuk keperluan tambak atau bahan bangunan. Penyusutan 1 hektar hutan bakau akan menghasilkan 247 kg ikan/tahun namun menyebabkan kehilangan 840 kg ikan/tahun. Selain sebagai tempat berkembang biak ikan, ekosistem mangrove berfungsi mencegah intrusi air laut, abrasi pantai, dan mengontrol perkembangan nyamuk Aedes Aegypti. Bakau juga berperan dalam mengurai pencemar pada muara sungai. Dalam suatu kunjungan ke pantai Ringgung, kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Saya menguji kualitas air sumur gali yang hanya berjarak kurang dari 30 m dengan bibir pantai. Secara fisik air tersebut jauh lebih baik ketimbang air wudu saya di mushola pelabuhan Merak, Banten. Salah satu penyebab terjaganya mutu air sumur di sana adalah barisan bakau di sepanjang pantai. Sulit dibayangkan bila penduduk yang sebagian besar nelayan dan pembuat arang harus mengalami kelangkaan air akibat intrusi. Kesadaran yang sama juga bisa ditumbuhkan pada semua daerah berbakau di Indonesia.

Penutup
            Air tidak bisa terlepas dari peran penyedia dan penyangganya, yaitu lingkungan. Seperti yang diungkapkan dosen saya Pak Weka Indra, “Pelestarian lingkungan (khususnya sumber daya air) memerlukan E3: Engineering (kerekayasaan), Enforcement (penegakan peraturan), dan education (pendidikan).” Engineering adalah segala pemanfaatan teknologi dalam menjauhkan manusia dari dampak buruk lingkungan dan mencegah alam dari kerusakan akibat kegiatan manusia. Enforcement ialah penegakan hukum bagi para pengerusak lingkungan. Terakhir yang tak kalah krusial adalah education atau peran pendidikan sebagai pencerahan bagi masyarakat.
            Bangsa kita tidak tertinggal dalam hal teknologi lingkungan. Hanya penegakan peraturan dan kesadaran masyarakatnya saja yang belum terbangun. Dosen saya Bu Rina yang sedang kuliah S2 di Jepang menuturkan bahwa untuk buang sampah saja di sana harus di-training enam bulan. Salah satu bentuk pelatihanya adalah pemisahan sampah organik-anorganik. Jika sampah lupa dipisahkan maka, petugas kebersihan tidak akan mau mengangkutnya. Budaya buang sampah pada tempatnya yang mengakar di Jepang sudah dibuktikan sendiri Bu Rina. Sewaktu ia membuang bungkus makanan bukan di kotak semestinya, keesokan hari ada teman sebangsa yang menegur. Bu Rina terbingung-bingung bagaimana bisa ia tahu padahal tiada seorang pun melihat perbuatanya. Ternyata menurut teman Bu Rina tersebut, di Jepang tidak ada yang buang sampah sembarangan kecuali orang kampungan.
            Sebenarnya masih ada banyak yang bisa diulas dari pelestarian sumber daya air. Namun, tulisan di atas saya rasa sudah cukup untuk mewakili inti-inti dari kompleksitas hubungan antara manusia dan air bersih. Semoga artikel ini dapat membantu dalam memberikan solusi/antisipasi bagi permasalahan air di Indonesia.

Daftar Pustaka       :
Damanhuri, Enri (2010). Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Bandung: ITB.
Horale, Parning, & Tiopan (2006). Kimia 1A. Jakarta: Yudhistira.

Putra, D. R. & Marfai, M. A. (2012). Identifikasi Dampak Banjir Genangan (Rob) Terhadap Lingkungan Permukiman di Kecamatan Pademangan Jakarta Utara. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Artikel Referensi  :

Slide Power Point:
Anonim. Pengelolaan Pencemaran Udara: Pengantar Pencemaran Udara.
Diah Ayu Wulandari Sulistyaningrum. Penyaluran Air Buangan dan Drainase: Pendahuluan.
Diah Ayu Wulandari Sulistyaningrum. Penyaluran Air Buangan dan Drainase: Sistem Penyaluran Air Buangan.
Diah Ayu Wulandari Sulistyaningrum. Penyaluran Air Buangan dan Drainase: Banjir dan Sistem Drainase.
Diah Ayu Wulandari Sulistyaningrum. Penyediaan Air Minum: Pendahuluan.
Diah Ayu Wulandari Sulistyaningrum. Penyediaan Air Minum: Perencanaan Sistem.
Diah Ayu Wulandari Sulistyaningrum. Penyediaan Air Minum: Unit Air Baku.
Natalina. Sanitasi Lingkungan: Pengolahan Air Buangan di Perkotaan.
Natalina. Sanitasi Lingkungan: Penyediaan Air Minum Perkotaan.