Sabtu, 09 November 2013

Fasilitas Air Terpadu Untuk Permukiman Pesisir

Objek permukiman pesisir saya pilih karena tergugah survey kami beberapa waktu lalu di Kota Karang, Bandar Lampung. Adapaun definisi permukiman pesisir adalah sebagai berikut: menurut keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan KEP.10/MEN/2002 pesisir adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, di mana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan provinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota; berdasarkan UU No.4 tahun 1992, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Jadi secara sederhana permukiman pesisir dapat diartikan tempat tinggal atau hunian yang berada di daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut.

Banyak permukiman di pesisir pantai Indonesia menghadapi permasalahan lingkungan sulit, seperti: Banjir rob, intrusi, penurunan level tanah, serta kontaminasi E. Coli pada air sumur. Salah satu contohnya terjadi di Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Tingginya eksploitasi air tanah (penyedotan dan pertumbuhan sumur bor) di sana tidak dibarengi kemampuan pembaharuan alami air yang hanya 1 x 10-2 cm/detik. Akibatnya, akuifer yang tadinya bertekanan karena terisi air kini lowong dan kemasukan air asin.

Eksploitasi air-tanah-dalam memicu penurunan muka tanah bahkan hingga titik di bawah permukaan laut. Daerah yang mengalami ini akan sering terkena banjir rob. Genangan yang terus-menerus selama bertahun-tahun terbukti menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Banyak di antara rumah penduduk lantainya harus ditinggikan 10-50 cm tiap lima tahun sekali. Beberapa rumah yang tergenang juga ditinggalkan oleh penghuninya. Tembok jadi retak, tanah urukan terendam, dan kusen banyak yang busuk. Kerugian akibat banjir rob dan penurunan tanah juga harus ditanggung Pengelola Kota. Karena mereka tiap lima tahun mesti meninggikan jalan-jalan arteri primer supaya aktivitas ekonomi tidak terhenti. Banjir rob menyebabkan pipa serta peralatan distribusi air bersih mudah rusak karena berkarat. Air yang meresap ke tanah di pemukiman menambah volume septictank penduduk sehingga pengurasan harus dilakukan rutin tiap dua tahun.

Peristiwa ini bisa jadi pelajaran berharga bagi perencanaan pesisir di daerah lain. Memang ada solusi bagi beberapa problem di atas tapi itu terlalu mahal. Seperti banjir rob, di mana Pemerintah harus membangun dam seperti di Belanda untuk menjaga lahan dengan ketinggian di bawah permukaan laut tetap kering. Satu-satunya langkah murah adalah pencegahan. Tindakan ini haruslah terintegrasi dari mulai perencanaan, kontrol, hingga rekayasa sosial.

Antisipasi nantinya dituangkan ke dalam sistem prasarana air yang meliputi: Instalasi air bersih, bangunan pengolahan limbah cair domestik, perpipaan, sumur resapan, MCK umum, septictank komunal, drainase, dan rain water harvesting. Pembangunan infrastruktur tadi harus dibarengi niat pelestarian lingkungan serta perlindungan kesehatan masyarakat lewat dua langkah konkret yaitu zero waste dan 3R (reduce, reuse, dan recycle).

(1) Infrastruktur pertama yang mesti tersedia adalah instalasi air bersih. Sarana ini dibutuhkan guna meningkatkan kesehatan penduduk serta meminimasi upaya eksploitasi air tanah. Biaya penyambungan harus dibuat terjangkau dengan kualitas pelayanan yang prima. Masalah pelik yang dihadapi Perusahaan Air Minum (PAM) sekarang—seperti tingkat kehilangan air yang tinggi, penyaluran yang diskontinu, kontaminasi selama distribusi, dsbg—wajib diatasi simultan dengan penyediaan air bagi rumah tangga pesisir! Sebab hal ini niscaya akan menambah kepercayaan konsumen pada PAM.

(2) Infrastruktur kedua yang juga penting bagi pengejawantahan zero waste dan 3R adalah septictank komunal. Permukiman rapat merupakan tempat yang rawan kontaminasi E. Coli pada air sumur. Ini disebabkan dekatnya septictank dengan sumber air. Kontaminasi tersebut dapat dicegah dengan menyatukan septictank di suatu tempat. Instalasi ini bukan cuma sebagai tempat penampungan namun pula dapat berfungsi sebagai reaktor biogas. Produk septictank yang berupa metan bisa mensubtitusi penggunaan LPG yang pada akhirnya menghemat pengeluaran rumah tangga. Septictank komunal sebaiknya ditempatkan dalam satu areal pertamanan sehingga air hasil olahanya bisa dimanfaatkan untuk penyiraman.

(3) Infrastruktur ketiga yang merupakan kunci permukiman pesisir ramah lingkungan adalah bangunan pengolahan limbah cair domestik. Pembuangan sembarang limbah ke badan air rawan merusak ekosistem laut dan muara. Padahal dua daerah ini merupakan rumah bagi ikan yang jadi mata pencarian nelayan. Limbah cair domestik berasal dari wastafel, kamar mandi, dan tempat cuci. Limbah cair domestik kaya bahan organik, jika jumlahnya melampaui ambang batas rentan menurunkan kadar Dissolved Oxygen (DO) perairan. Ini bisa makin parah bila industri pengasinan ikan ikut menggelontorkan limbah. Maka itu, guna mengantisipasinya suatu kawasan membutuhkan instalasi pengolahan air limbah (IPAL).

IPAL
Fasilitas di atas mesti dibuat sepaket dengan sistem sewer terpisah yang tertutup. Sewer terbagi atas saluran air kotor (riol) dan drainase (stormwater system). Tiap rumah harus sudah memisahkan antara saluran limbah cair dan air hujan sebelum terhubung ke sewer. Air hujan dari talang masuk drainase sedangkan limbah cair ke riol. Air drainase disalurkan ke embung dan sumur resapan; limbah dari riol ke IPAL. Air hasil olahan IPAL yang telah aman selanjutnya dapat dilepas ke badan air. Sebagai tambahan, embung sebaiknya dibangun sekomplek dengan taman luas. Mereka dapat menjadi ruang terbuka hijau (RTH) ideal.

Sistem sewer terpisah dan tertutup
(4) Infrastruktur keempat yang cukup disarankan adalah rain water harvesting. Cara kerjanya adalah dengan menyimpan air hujan ke dalam suatu tangki. Air dapat digunakan untuk menyiram tanaman atau diresapkan kembali ke tanah. Masing-masing rumah sebaiknya punya rain water harvesting. Namun bila belum memiliki, air hujan dapat dialirkan langsung ke drainase. Rain water harvesting bisa mencegah overkapasitas badan air yang ‘tak lain pemicu banjir.

Skema rain water harvesting
(5) Infrastruktur kelima yang baik bagi konservasi air tanah pesisir lainya adalah sumur resapan. Bentuknya seperti sumur gali dengan kedalaman tertentu yang dindingnya bisa tanah, berbis beton, atau diberi susunan bata; dengan dasar kosong atau diisi batu belah dan ijuk. Manfaat sumur resapan antara lain: (a) Mengurangi aliran permukaan (run off) sehingga dapat mengurangi risiko banjir dan genangan air, (b) mempertahankan tinggi permukaan air tanah, (c) mengurangi erosi dan sedimentasi, (d) mengurangi/menahan intrusi air laut, (e) mencegah penurunan  tanah (land subsidance), serta (f) mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah. Sumur resapan bisa dilengkapi tutup beton, bak kontrol, tutup bak kontrol, atau saluran inlet-outlet. Sumur resapan dapat dibangun di jalur hijau guna menampung limpasan hujan dari jalan.

Skema sumur resapan
(6) Infrastruktur terakhir yaitu MCK umum cukup dibutuhkan permukiman padat dan miskin. Di sini warga bisa cuci baju dan mengambil air bersih dengan murah. Fasilitas ini saya jumpai di perkampungan Jembatan Beton, Kelurahan Gedung Pakuon, Bandar Lampung ‘tak jauh dari Kota Karang. Sarana ini berfungsi untuk meningkatkan sanitasi penduduk setempat. Pengelolaan dapat diserahkan pada masyarakat.

MCK umum di perkampungan Jembatan Beton
Mewujudkan fasilitas-fasilitas di atas memang bukan perkara mudah. Ini karena banyak hunian pesisir yang sudah permanen. Butuh usaha dan dana besar untuk menata ulang mereka. Tapi setidaknya kita telah menyediakan solusi bagi sumber daya air permukiman pesisir yang berkelanjutan.



Referensi Web:

Daftar Pustaka:
Putra, D. R. & Marfai, M. A. (2012). Identifikasi Dampak Banjir Genangan (Rob) Terhadap Lingkungan Permukiman di Kecamatan Pademangan Jakarta Utara. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.