Jumat, 07 Oktober 2011

Bocoran Soal Kalkulus


Bocoran Soal Kalkulus


            Kalau tidak salah, 90% kemajuan murid itu dipengaruhi oleh guru. Nah, kebetulan saya sekarang mendapatkan dosen kalkulus yang bagus. Dia menjelaskan matematika seperti sepotong kue. Tadinya saya hanya belajar setiap malam sebelum kuliah kalkulus. Seiring dengan eskalasi tingkat kesulitan, saya pun juga mengintensifkan latihan. Ujian pertama di Kalkulus I membuat saya terkejut bukan main. Pasalnya, selama 12 tahun sekolah, saya hanya bisa mencapai paling tinggi nilai 5, jika mengerjakan sendiri.

            Namun, kali ini saya bisa mendapat nilai nyaris sempurna. Kalkulus I selesai dan sekarang kita beralih ke Kalkulus II. Tren positif terus terjaga hingga suatu hari saya menyadari, bahwa saya tidak bisa menikmati hasil ini sendiri. Saya melihat banyak teman saya sangat kesulitan dan terengah-engah mengerjakan ini.Inisiatif saya tergerak untuk membantu mereka. Waktu kalkulus I memang ada teman saya yang suka main ke rumah untuk minta diajarkan. Tapi, ketika kalkulus II mereka tidak lagi ke sini.

            Karena tahu bahwa saya tidak punya waktu untuk memberi mereka tambahan. Saya pun berpikir soal cara singkat. Kebetulan waktu itu karena murid yang banyak. Kelas akhirnya dibagi jadi dua: Pagi dan siang pada hari yang sama. Celah itu muncul ketika tahu bahwa ternyata soal ujian untuk kelas pagi dan sore sama. Percobaan pertama: Saya memanggil teman saya Dika untuk memberinya bocoran. Ternyata berhasil dan ia tidak ketahuan. Percobaan kedua: Saya lalu memanggil beberapa teman dekat saya dari kelas siang lainya. Mereka pun mencatat soal yang saya tulis di kertas coretan.

            Ujian memang dilakukan beberapa kali. Lalu, setelahnyalah dipilih dua tertinggi diantaranya guna dijadikan nilai UAS dan UTS. Kembali ke cerita teman-teman saya! Satu minggu berselang dan akhirnya saya mendengar dari teman saya bahwa mereka ketahuan. Satu kelas diamuk dosen dan katanya mengerikan. Seseorang diantara mereka menyebut nama saya. Wow! Sedikit terkejut dan terbayang bahwa dosen akan menghempaskan kepala saya ke tembok. Teman saya bilang bahwa nilai saya dikurangi.

            Hal yang saya takutkan bukan soal nilai. Tapi, ini soal kewenangan dosen untuk mencoret peserta didik. Ya, saya harus menghadapi ini, diomeli atau bahkan dicerca. Namun, saya ingat beberapa hal tentang psikologi. Di hari saya akan dihakimi. Saya sengaja berpakaian yang sangat rapih dengan kemeja hitam lengan panjang dan celana dasar. Memang saya biasa rapih tapi, tidak pernah serapih ini. Teman-teman saya beberapa kali bertanya alasan saya berpakaian begini (maklum anak teknik). Lalu, saya jawab, “Tidak apa-apa. Memang sedang ingin rapih.”

            Tiba jam masuk kelas dan kuliah dimulai dengan tatapan sangar Bu dosen. Dia berkata bahwa ia amat kecewa dan merasa salah sudah percaya dengan kami. Lalu, saat sedang marah tadi, ibu itu langsung menyebut nama saya, “Edo! Kamu yang membocorkan ini. Ini inisiatif kamu atau mereka yang meminta?” Saya jawab, “Mereka yang meminta coretan saya Bu.” Ibu itu sepertinya kurang percaya, “Benar bukan kamu yang justru menyerahkanya sendiri?” Dengan tegas saya jawab, “Iya Bu.”

            Anehnya ibu itu tidak semurka seperti yang digambarkan semua anak kelas siang. Saya pikir manipulasi saya berhasil. Pakaian rapih melambangkan kepribadian yang gigih, taat peraturan, disiplin, alim, dan penyuka angka. Setelah selesai marah-marah yang ternyata hanya berjalan singkat. Dia melanjutkan kembali kuliah dengan sesekali melihat ke arah saya sambil bilang, “Kalau memberi tahu cara/jalanya itu boleh.”  Di akhir kuliah dia menceritakan tentang orang-orang yang juga pernah mencurangi ujianya. Mereka semua berakhir dengan nilai nol (0).

            Ya, namanya bahasa tidak langsung. Saya bisa paham bahwa ibu itu masih memberi dispensasi pada saya. Jadi, saya pun berterimakasih pada bu dosen karena tidak menghanguskan nilai saya. Memang, sebelumnya Dika teman baik saya dari kelas siang bersedia membela. Katanya, ia  mengirim SMS ke bu dosen. Mungkin itulah yang membuat murka ibu itu jadi lebih reda. Namun, yang saya heran adalah saat tahu nama orang yang menyebutkan saya sebagai pembocor ternyata kurang saya kenal.

            Ceritanya bermula saat bu dosen curiga dengan peningkatan dramatis 4 orang tertentu di kelas siang. Dia yang tadinya mendapatkan nilai 2 kini malah bisa mendapatkan nilai nyaris sempurna. Bahkan jadi yang tertinggi di kelas. Kecurigaan terbukti saat 4 orang ini (dikurangi Dika karena tidak masuk) disuruh maju ke depan. Mereka diharuskan mengerjakan soal yang sama. Ternyata tak seorang pun dari mereka mampu mengerjakanya.

            Peningkatan drastis ini juga dialami oleh seluruh peserta kelas siang. Jadi, keputusan ibu itu adalah “Mengulang ujian” denga soal hukuman. Teman dekat saya dengan lirih mengutarakan empatinya pada kakak-kakak tingkat yang tidak tahu apa-apa. Memang salahnya, teman dekat yang saya beri bocoran ini malah mengerjakan soal di kosan orang. Sehingga seluruh makhluk bisa leluasa meng-copy-paste hasilnya.

            Dua dari empat orang yang ketahuan itu sudah saya maafkan.Tapi dua yang tidak terlalu saya kenal ini. Bukanya minta maaf dan mengaku atau minimal bicara baik-baik. Mereka malah melenggang saja bahkan di depan saya tanpa menegur sedikitpun, “Benar-benar cacat adat.” Ujar saya. Akhirnya soal yang tadinya sudah ada 5 kode pun dibagi lagi jadi kode pagi dan siang. Dengan ini saya yakin tidak akan ada lagi kebocoran. Maaf ya bu karena sudah, mempersulit ibu dengan mengoreksi 10 varian soal.









           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar